Selasa, 04 Januari 2011

SENGKETA BANDARA EMALAMO SANANA-MALUKU UTARA

Sangat disanyangkan perbuatan sekelompok orang yang dipimpin oleh oknum yang tidak Bertanggung Jawab melaksanakan kegiatan Pemblokiran Bandara Emalamo, yang pada akhirnya membawa dampak negatif kususnya kerugian akses transportasi yang berdampak pada menghambatnya kondisi laju perekonomian msyarakat Kabupaten Kepulauan Sula-Maluku Utara. Perbuatan Oknum tersebut seolah-olah membiarkan perbuatan melawan hukum, padahal dari pihak Pemda Kabupaten Kepulauan Sula telah memberitahukan secara Lisan maupun tertulis untuk meminta dukungan pengamanan Bandara tersebut dari semua pihak.

Dan Berdasarkan Permintaan Pengamanan Bandara Emalamo Kepulauan Sula dari Bupati Kepulauan Sula No. 300/306/KS/XII/2010 yang ditujukan kepada Kepala Kepolisian Resort (POLRES) Kepulauan Sula. Tetapi dalam hal ini Ka. POLRES Kepulauan Sula tidak memberikan respon yang positif atau langkah-langkah pengamanan atas Surat Bupati Kepulauan Sula tersebut.

Seharusnya Ka. Polres Kepulauan Sula sebagai Pihak Keamanan setelah mendapat laporan dari pihak Pemda Kabupaten Kepulauan Sula harus mengantisipasi kejadian pemblokiran bandara EMALAMO tersebut dengan tindakan pengamanan sebagaimana diatur dan/atau diamanatkan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Bab III Pasal 13 tentang tugas Pokok Kepolisian, karena seolah-olah Ka. Polres membiarkan tindakan pidana yang dilakukan oleh Ipda Tajudin Duwila.

Permasalahan pemblokiran Bandara EMALAMO ini berawal dari tuntutan warga Desa Wai Ipa dan warga Desa Umaloya Kabupaten Sula yang mengaku pemilik tanah lahan bandara EMALAMO untuk meminta ganti rugi atas penggunaan tanah tersebut kepada Pemda Kabupaten Kepulauan Sula.

Berdasarkan data-data yang dimiliki oleh Pemda Kebupaten Kepulauan Sula, bahwa ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Bandara EMALAMO telah dilakukan pada tahun 1971 dimana pada saat itu cara ganti rugi dilakukan dengan penyerahan suka rela dari para pemilik dan para pemuka adat yang hidup pada saat itu dengan syarat harta garapan berupa pohon kelapa dan beberapa jenis tanaman perkebunan lainnya dibayar ditempat pada saat akan ditebang. Hal tersebut dikuatkan dengan kesaksian beberapa mantan Kepala Desa Wai Ipa antara lain Bpk. Hi. Abbas Amir dan Bpk. Hi Ali Ipa selaku Pemangku Adat sekaligus perpanjangan tangan pemerintah di tingkat desa pada waktu itu (Data Pemda.Kepulauan Sula).